DUNIA TERANCAM KELANGKAAN AIR
BERSIH
TANGGAL 22 Maret setiap tahun mungkin tak memberi arti apa-apa
bagi kita. Kita masih merasa hidup di daerah yang berlimpah air
sehingga tanggal itu lewat begitu saja. Seharusnya pada tanggal itu, kita
sebagai warga Indonesia
maupun warga dunia tersadarkan bahwa ketersediaan air mulai bermasalah. Tanggal
itu merupakan Hari Air Sedunia (World Water Day). TANGGAL itu mengisyaratkan,
kita harus menyadari kalau ketersediaan air telah mengancam kesehatan
masyarakat, mengancam stabilitas politik, dan juga mengancam lingkungan.
Peringatan ini muncul dalam World Water Development Report (WWDR), sebuah
laporan PBB mengenai ketersediaan air bersih dunia yang diluncurkan pada Third
World Water Forum, tanggal 16-23 Maret 2003, di Jepang. Fakta- fakta tentang
keadaan air di dunia terungkap dalam laporan itu.
Dalam laporan setebal 600 halaman itu disebutkan, meski jumlah
air merupakan bagian terbesar di bumi, namun hanya 2,53 persennya merupakan air
bersih. Sebanyak dua pertiga dari air bersih itu berupa sungai es (glaser) dan
salju permanen yang sulit untuk dimanfaatkan. Dari waktu ke waktu sumber daya
air bersih makin berkurang akibat pertambahan penduduk. Air bersih juga
terpolusi oleh kurang lebih dua juta ton sampah setiap hari. Polusi ini muncul
dari kegiatan sektor industri, kotoran manusia, dan kegiatan sektor pertanian.
Tidak ada data yang pasti soal produksi limbah cair. Akan tetapi, salah satu
sumber memperkirakan produksi limbah cair mencapai 1.500 kilometer kubik. Bila
saja satu liter limbah cair mencemari delapan liter air bersih, maka setidaknya
12.000 kilometer kubik air bersih terpolusi di seluruh dunia. Dampak dari
perubahan iklim dunia terhadap sumber air belum diketahui secara pasti. Akan
tetapi, estimasi terbaru menyebutkan, perubahan iklim global menyebabkan
kelangkaan air global hingga 20 persen. Pada pertengahan abad ini atau pada
tahun 2050, setidaknya enam milyar manusia di 60 negara akan mengalami
kelangkaan air bersih. Bahkan, dalam kurun waktu 20 tahun ke depan, laporan itu
memprediksikan rata-rata pasokan air untuk tiap orang akan turun sepertiganya.
Berbagai penyakit juga muncul terkait dengan ketersediaan air di negara
berkembang seperti diare, malaria, dan skabies (penyakit kulit- Red). Pada
tahun 2000 setidaknya terdapat 2,2 juta kematian karena sanitasi air yang
rendah. Sekitar satu juta manusia meninggal karena malaria.Upaya yang bisa
dilakukan untuk mengurangi berbagai penyakit melalui media air adalah dengan memperbaiki
pasokan air bersih. Akan tetapi, pada kenyataannya masih terdapat 1,1 milyar
penduduk dunia tidak bisa mendapatkan akses perbaikan pasokan air bersih. Bila
upaya perbaikan pasokan air dilakukan dengan sanitasi dasar, maka sebenarnya
tingkat kematian karena minimnya pasokan air bersih bisa dikurangi sebanyak 17
persen per tahun. Sedangkan dengan perbaikan sanitasi lanjutan, maka tingkat
kematian bisa dikurangi 70 persen per tahun. LAPORAN itu juga menyebutkan
masalah ketersediaan air akan berpengaruh pada pasokan pangan. Bumi yang
dibiarkan begitu saja diperkirakan bisa memberi makan untuk 500 juta manusia.
Untuk itu dibutuhkan sistem pertanian yang memadai karena jumlah penduduk dunia
mencapai sekitar enam milyar orang. Untuk menyediakan pangan sebanyak 2.800
kalori per orang per hari membutuhkan paling
sedikit seribu kubik air. Kebutuhan air untuk pertanian dipasok sebagian besar
dari air hujan dan sebagian kecil dari irigasi. namun, jumlah air untuk irigasi
juga tidak mencukupi sehingga sumber air untuk irigasi juga berasal dari limbah
cair. Paling tidak 10 persen dari lahan beririgasi di negara berkembang
mendapat pasokan dari limbah cair. Dibutuhkan investasi yang besar untuk
membuat fasilitas irigasi. Setidaknya butuh 1.000 dollar AS hingga 10.000
dollar AS per hektar untuk membangun irigasi. Manfaatnya, ada hubungan yang
positif antara investasi irigasi, ketahanan pangan, dan pengurangan kemiskinan.
Untuk kebutuhan irigasi, sebenarnya limbah cair harus diolah lebih dulu. Namun,
di banyak negara berkembang air yang tercemar itu digunakan langsung untuk
irigasi. Padahal cara seperti ini memiliki risiko bahwa air tersebut mengandung
bakteri, cacing, virus dan logam berat yang berbahaya. Mikroorganisme dan
senyawa ini berbahaya bagi petani dan pengelola irigasi yang bersentuhan
langsung dengan air itu, maupun para konsumen pangan yang mendapat pasokan
pangan dari area pertanian tersebut. Tidak bisa disangkal, berbagai jenis
penyakit dan logam berat berada di dalam produk-produk pangan..
Air juga terkait dengan masalah perkotaan. Saat ini sekitar 48 persen populasi
dunia tinggal di perkotaan. Pada tahun 2030
diperkirakan persentase itu meningkat menjadi 60 persen. kenaikan itu harus
diikuti dengan penyediaan air dan sanitasi yang memadai, serta membutuhkan
pengelolaan limbah secara memadai. Bila saja limbah tersebut tidak ditangani,
maka hal itu menjadi ancaman bagi lingkungan. Pengelolaan air bersih untuk
perkotaan sangat kompleks karena harus memadukan kebutuhan air untuk penduduk
dan industri, pengendalian polusi, membutuhkan penanganan limbah, mencegah
banjir, dan menjaga kelestarian sumber daya air. Masalah ini bisa diselesaikan
dengan melakukan kerja sama antarberbagai daerah yang memiliki kaitan dengan
aliran sungai dan sumber air tanah. Saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
membuat tolok ukur akses yang memadai untuk seorang penduduk mendapatkan air.
Penduduk dikategorikan bisa mengakses penyediaan air bersih bila untuk
mendapatkan 20 liter per hari harus berjalan kurang dari satu kilometer.
Kenyataannya banyak penduduk yang tidak bisa mendapatkan akses dengan tolok
ukur itu. Penyediaan air bersih di negara dengan pendapatan yang rendah
merupakan masalah yang besar. Kualitas penyediaan air sangat rendah sementara
harganya sangat mahal, ketika penduduk harus membeli air dari tukang air bersih
keliling. Untuk menyediakan air bersih, fasilitas sanitasi, dan pengendalian
banjir merupakan masalah yang penting bagi sebuah kota.Diperlukan zonasi untuk
pembangunan perumahan dan industri agar tidak
mengganggu sumber daya air. Akan tetapi, ini bukan hal yang mudah untuk sebuah kota yang memiliki
pendapatan yang rendah.
Bukan hanya rumah tangga yang membutuhkan air bersih, industri
pun membutuhkan air untuk bahan baku.
Kebutuhan air untuk industri meningkat dari sekitar 725 kilometer kubik pada
tahun 1995 dan diperkirakan menjadi 1.170 kilometer kubik pada tahun 2025.
Peningkatan ini akan terjadi di negara-negara berkembang, di mana
industrialisasi semakin meningkat. Permasalahannya, permintaan dan produksi air
untuk industri sebenarnya bisa dipecahkan. Caranya adalah dengan membuat
proyeksi kebutuhan air oleh pelaku usaha dan pemerintah. Keduanya juga harus
mengelola penyediaan air. Pengelolaan kebutuhan air harus dilakukan dengan
meningkatkan efisiensi dan menurunkan polusi.
Sayangnya, air yang keluar dari industri biasanya memiliki kualitas yang rendah
dan terpolusi, serta tanpa penanganan yang memadai. Air ini akan kembali masuk
ke sungai-sungai kecil sehingga membebani penyediaan air bersih bagi penduduk
di sekitarnya.AIR juga menjadi sumber produksi energi. Pembangkit listrik
dengan menggunakan tenaga air digunakan di banyak negara. Saat ini dua milyar
manusia tidak mendapatkan listrik, satu milyar menggunakan listrik yang tidak
ekonomis, dan 2,5 milyar penduduk mendapat akses terbatas dari penyediaan
listrik.
Keberadaan listrik sangat membantu dalam mengurangi kemiskinan,
membantu usaha kecil dan menengah, penyedia penerangan sehingga memungkinkan
penduduk untuk belajar di malam hari, dan memperpanjang waktu untuk bekerja.
Pembangkit listrik tenaga air menyediakan sekitar 19 persen dari produksi total
listrik pada tahun 2001. Penggunaan air untuk pembangkit listrik dapat
mengurangi efek rumah kaca dan polusi udara. Bencana yang disebabkan oleh air juga
tidak sedikit. Lihat saja angka bencana alam, terdapat manusia yang menjadi
korban bencana
sekitar 211 juta per tahun. Sebanyak 90 persen dari korban bencana itu akibat
air. Dengan rincian 50 persen merupakan korban banjir, 28 persen akibat
penyakit dengan media air, dan 11 persen akibat kekeringan. Jumlah kematian
akibat bencana alam mencapai 665.000 jiwa, 15 persen di antaranya karena
banjir, serta 42 persen akibat kekeringan. Jumlah kerugian akibat bencana itu
naik dari 30 milyar dollar AS pada tahun 1990 menjadi 70 milyar dollar AS pada
tahun 1999. Kejadian ini mengindikasikan adanya kaitan antara sumber daya air
dan investasi untuk pencegahan bencana, seperti pembuatan dam ,perencanaan
penggunaan lahan, dan peramalan banjir. Dengan berbagai paparan di atas, PBB
menyarankan Integrated Water Resources Management (manajemen pengelolaan sumber
daya air secara
terintegrasi). Cara-cara yang digunakan untuk mengurangi persaingan penggunaan
air adalah dengan jalan membuat strategi nasional, alokasi air antarsektor,
penanganan kualitas air, serta pengelolaan sistem penampungan air bersih.
Banyak perkembangan yang terjadi dengan air pada dekade ini. Air tidak hanya
memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai sosial, religius, kultural,
dan lingkungan. Konsep keadilan dalam
penggunaan air adalah memaksimalkan penggunaan air untuk kepentingan semuanya,
sambil menyediakan akses untuk penduduk dan meningkatkan penyediaan air bersih.
Ini berarti dalam menggunakan instrumen ekonomi untuk alokasi air, maka harus
mempertimbangkan masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan air, masyarakat
yang hidup dalam kemiskinan, anak-anak, serta masyakakat lokal. Valuasi air
berguna untuk alokasi air, pengelolaan kebutuhan, dan investasi. Meski
demikian, banyak masalah yang muncul karena perhitungan ekonomi tidak dapat
memperkirakan secara tepat nilai- nilai sosial, keadaan ekonomi dan lingkungan,
dan hakikat dari air. Investasi di sektor pengairan membutuhkan dana sekitar 20
milyar-60 milyar dollar AS. Masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan air
merefleksikan perbedaan berbagai kepentingan yang ada. Perbedaan berbagai
sektor ekonomi seperti penggunaan air untuk pangan, perkotaan, dan industri
harus dikaji secara saksama. Kewajiban membayar air tidak bisa ditetapkan untuk
penduduk di semua tempat.Krisis air sebenarnya adalah krisis pengelolaan.
Gabungan dari krisis ini tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Pengelola air akan mendapati situasi yang kompleks dan tidak menentu.
Mereka harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan dalam mendapatkan air.
(ANDREAS MARYO).